Oleh: Adit Anugrah Pratama*
Adit dan seseorang pertama kali dekat saat mengikuti sebuah acara sekolah. Mereka ditunjuk untuk menjadi panitia. Awalnya hanya percakapan singkat soal tugas, tapi lama-lama ada kenyamanan yang tumbuh di antara mereka.
Hari-hari latihan, rapat, dan lelah bersama membuat mereka saling mengerti. Tanpa disadari, Adit menyimpan perasaan. Ia ingin berkata jujur, namun selalu takut jika kata-katanya merusak kebersamaan yang ada.
Acara itu pun sukses digelar. Semua orang bertepuk tangan, tertawa, dan merasa lega. Tapi di balik senyum itu, Adit menyimpan rasa yang tak sempat terucap.
Beberapa hari kemudian, kabar mengejutkan datang. Seseorang akan pindah sekolah mengikuti orang tuanya. Dunia Adit seakan runtuh. Ia ingin menahan, tapi ia tahu itu tidak mungkin.
Hari terakhir di sekolah, mereka duduk berdua di bangku taman. Angin sore berhembus pelan. Seseorang menatap Adit dan berkata lirih,
“Terima kasih untuk semua kenangan, Dit. Aku harus pergi.”
Adit menelan perihnya hati, lalu tersenyum meski matanya basah.
“Kalau mencintaimu berarti harus merelakanmu pergi, aku akan melakukannya. Karena titik tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Selama kau bahagia, aku pun akan berusaha bahagia.”
Mereka pun berpisah. Bukan karena cinta yang hilang, tapi karena cinta yang terlalu tulus hingga rela dilepaskan.
Dan di hati Adit, sebuah kalimat tetap terukir:
“Kadang, cinta bukan tentang bagaimana akhirnya kita bersama. Cinta adalah tentang merelakan, sambil tetap mendoakan kebahagiaan orang yang kita sayangi.”
Watansoppeng, 3 September 2025
*Penulis adalah Siswa SMAN 1Soppeng