Oleh: Vicky Nahuway Soroeday

Saat itu aku duduk memandangi langit sore di atas bukit setelah segala aktivitasku selesai dan siap melepaskanmu. Sang memory datang menghampiriku dengan langkah pelan. Kemudian ia berdiri di sampingku. Dia mengeluarkan kotak rekaman dan menyuruhku memandangi langit seraya memutarkan rekaman kenangan di mana awal kita bertemu.

Terlihat awal kita bertemu setahun yang lalu, di mana aku juga tak sengaja memujimu yang diungkapkan oleh hati. Saat itulah rasa nyaman tumbuh dan berubah menjadi rasa rindu. Tentu sangat sulit mengungkapkannya diiringi canggung di sampingmu.

Semenjak hari itu, aku tak lepas memandangi sebuah fotomu hasil curianku. Kemudian sang memory memutar rekaman berikutnya. Terlihat aku yang mulai terus-terusan memikirkanmu di waktu luangku.
Membayangkan diri, senyum, suara, dan tatapanmu. Dari sini aku mulai belajar memahami perasaanku. Apakah aku serius atau sekedar mengagumimu? Aku pun mencoba memberanikan diri mendekatimu dengan perlahan dan hati-hati untuk membangun hubungan komunikasi denganmu dan mencari jawabannya.

Ya, dengan diriku yang kurang pandai mendekati seseorang. Setiap perbincangan tak ada yang spesial. Aku masih saja terus mencari cara untuk tetap terus berada di ruang pesan denganmu.

Untuk yang ke tiga kalinya sang memory memutar rekaman berikutnya. Kali ini kita bertemu yang kedua kalinya, disatukan kembali lewat sebuah program sekolah yang membuatku mempunyai kesempatan. Kesempatan di mana aku bisa mengenalmu lebih dalam. Banyak topik yang terus bisa membuatku dekat denganmu. Namun, masih ada canggung di antara kita.

Ternyata, di setiap percakapan ternyata menumbuhkan perasaan.Di saat bertemu, hanya saling menatap. Namun, tatapan itu penuh pesan rahasia tentangku dan tentangmu. Tak sadar tatapan itu membuat kita semakin menumbuhkan kekaguman berujung kerinduan. Rindu pun berujung saling penasaran. Penasaran pun berujung berperasaan.

Rekaman keempat, sang memory duduk di sampingku untuk memutar rekaman berikutnya. Rekaman ini adalah di mana aku mulai semakin sering bertemu denganmu dalam program sekolah itu. Semakin sering bertemu, semakin banyak tatapan dan saling memandang dengan waktu yang cukup singkat, tapi, lagi-lagi membuatku candu. Mulai dari sesekali memandangmu, hingga berkali kali memandang tanpa henti.

Terlihat juga aku yang sering menunggumu di pos jaga hanya untuk melihatmu berlalu masuk melewati gerbang sekolah. Sekadar memastikan apakah kamu akan datang atau tidak. Jika tidak, aku akan bertanya apakah kamu baik baik saja? Jika kamu datang, aku hanya akan memandangmu lewat di depanku sampai hilang dari pandanganku.

Sang memory kemudian memutar rekaman ke empat, di mana aku mulai gelisah tak tertahan oleh perasaan ini. Aku pun akhirnya nekat mengungkapkan perasaan ini. Aku bercerita denganmu tentang aku yang sedang jatuh ke dalam sebuah perasaan pada seseorang. Dengan pertama kali memanggil kamu sebagai “Crush”, dan bercerita tentang bagaimana aku yang sedang tidak tahan dengan sebuah perasaan.

Hey crush, aku ingin cerita tentang orang yang membuatku jatuh dalam sebuah perasaan yang dalam,” kataku kepadamu.

Dengan canggung dan malu kamu menjawab, hm? Siapa? Ceritakan saja.”

Sekali aku menarik nafas, “huffff. Ehem . . Jadi, dari awal bertemu hingga sekarang ,dia adalah orang yang membuat aku sulit tidur, karena hanya memikirkan dia seorang. Aku tak sengaja memikirkan bagaimana jika aku terlambat mengungkapkan perasaan ini? Kemudian seseorang lebih dulu menyampaikan perasaannya? Jadi aku mau bilang . . Ya aku suka kamu.”

Sontak kamu terkejut dan tersipu malu.

Ucapmu ,”ya, aku juga.”

Senang sekali. Ternyata kamu juga merasakan perasaan yang sama. Di sinilah aku menemukan jawabannya.

Sang memory kemudian memutar rekaman ke lima. Terlihat aku dengan dirimu menjalani hari dengan hanya saling menatap tanpa bicara. Sungguh semua karena canggung. Meski begitu, di ruang pesan, kita saling dekat dan saling memperhatikan satu sama lain, mulai dari berkabar, saling menyemangati dan lain lain.

Ke mana pun kamu pergi, di situlah pandanganku menyorotmu dari jauh. 2 sampai 3 menit waktu yang singkat .Namun, saat memandangmu cukup membuatku kembali semangat. Tak jarang kamu membalas tatapan ini dengan senyummu yang berujung membuatku salah tingkah.

Tiba di mana hari demi hari mulai terasa bosan karena kita seperti dekat secara virtual walau sudah di depan mata. Aku tak menyalahkanmu, karena memang aku payah soal ini. Saat itu program sekolah yang hanya berlangsung sebulan telah usai, kita pun mulai jauh dan mulai renggang dalam komunikasi.

Sang memory kemudian memutar rekaman ke enam, di mana aku salah mengambil keputusan untuk meninggalkanmu. Merasa tidak cocok karena berbeda, mulai merasa bosan, dan kedekatan kita sebatas ruang pesan yang mulai menghilang, akhirnya kita berpisah.

Berbulan melewati hari dengan yang seiman, tapi ternyata aku lebih bahagia denganmu daripada orang lain itu. Kecewa, tapi waktu terus berjalan, tidak dapat diputar kembali. Tiba di mana akhirnya aku pun tetap berpisah dengan orang itu dengan rasa kecewa yang lebih dalam.

Sang memory memutar rekaman ke tujuh, di mana hari pelepasanku sudah dekat. Alam semesta mempertemukan aku kembali denganmu, tapi tidak dengan perasaan itu. Waktu demi waktu semakin berkurang, mengingat kita akan berpisah dan sulit untuk saling menatap kembali. Untunglah aku benar- benar diberi banyak hari untuk bertemu denganmu. Penyesalan demi penyesalan membuatku merasa bersalah seiring berdiri di atas kekecewaan dengan diri sendiri. Aku hanya ingin menikmati semua sisa waktuku dari jauh untuk memandangimu lagi sebelum aku harus menunggu lebih lama untuk kembali memandangimu di masa mendatang.

Sang waktu datang menemui kami berdua. Sang memory menutup rekamannya sambil merangkulku dan berkata, “sudah siap? Lepaskan sekarang.” Dengan begitu, aku sudah siap melepas perasaanku dan membiarkan sang waktu menyerap habis sisa perasaan ini. Ini tidak mudah, tapi perlahan sang waktu bisa kendalikan. Aku meminta semesta berjanji untuk membiarkan aku menikmati sisa waktuku itu.

Dan benar….
Semesta menepati janjinya di mana aku bisa memandangi senyummu itu.
Semesta menepati janjinya di mana aku bisa mendengar suara tawamu itu.
Semesta menepati janjinya di mana aku bisa saling bertatapan dengan matamu itu.
Semesta menepati janjinya di mana aku bisa merasakan kebahagiaan tersendiri saat ada di dekatmu itu.

Meskipun semua itu singkat, tapi membuatku mengingat semua itu sebelum aku menunggu lama kembali melihatmu. Ya, ada rasa penyesalan, tapi ini yang terbaik untuk kita.

Jujur kalau ada kesempatan, tentu aku ingin memperbaiki semuanya dan extra lebih. Namun, aku akan berusaha belajar ikhlas lebih jauh lagi.

Maaf pernah membuat sebuah luka. Maaf belum pernah menjadi yang terbaik. Maaf karena pernah membuatmu lama disembuhkan. Maaf pernah membuatmu kecewa, dan maaf karena menjadi mimpi buruk buat kamu. Aku beruntung bisa mengenalmu, meskipun suatu saat nanti akan ada orang lain yang lebih beruntung karena dimiliki olehmu.

Aku, Viky Nahuway Soroeday, berpamit denganmu dalam kisah “Segala Hari”.

Watansoppeng, 29 Juni 2022

(Visited 57 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *