Oleh: Aisya Shafira Yunus*

Hai, aku anak bungsu. Kata orang-orang, jadi anak bungsu itu enak karena apa yang dia mau sudah tersedia. Selalu dimanja, tidak perlu bersusah payah, dan sering dianggap sebagai kesayangan dalam keluarga. Tapi, pernah nggak sih orang-orang berpikir kalau jadi anak bungsu itu sebenarnya nggak seindah yang dibayangkan?

Anak bungsu sering dituntut untuk lebih sukses dari kakak-kakaknya. Harus jadi kebanggaan, harus lebih pintar, harus lebih berprestasi. Jika gagal, kata-kata seperti “Masa kalah sama kakak-kakakmu?” atau “Belajar yang benar, lihat kakakmu!” seolah menjadi makanan sehari-hari.

Anak bungsu sering merasa kesepian ketika kakaknya sibuk bekerja, apalagi jika sudah menikah. Saat kecil, rumah terasa ramai, penuh tawa dan cerita. Tapi seiring waktu, satu per satu pergi menjalani hidupnya masing-masing, meninggalkan si bungsu sendiri bersama ayah dan ibu. Kadang, rumah terasa sepi. Kadang, si bungsu hanya bisa menatap foto-foto lama, mengenang saat semuanya masih lengkap.

Anak bungsu sering dianggap sebagai sumber masalah dalam keluarga. Saat ada kesalahpahaman, anak bungsu yang disalahkan. Saat ada konflik kecil, anak bungsu yang dipertanyakan. Kadang, tanpa alasan jelas, anak bungsu harus menanggung beban yang bahkan bukan miliknya.

Anak bungsu juga tidak sebebas yang orang-orang pikirkan. Sering kali langkahnya dibatasi dengan alasan masih anak-anak, padahal dirinya sudah cukup dewasa. Keputusan yang ingin diambil selalu dipertanyakan, dianggap belum cukup bijak, belum cukup dewasa untuk menentukan jalan sendiri.

Anak bungsu harus mandiri. Meski sering dianggap masih kecil, pada akhirnya dia harus belajar bertahan sendiri. Jika ingin sesuatu, harus berusaha sendiri. Jika merasa sedih, harus menghibur diri sendiri. Jika ada masalah, harus mencari jalan keluarnya sendiri.

Suara anak bungsu sering kali tidak pernah didengar. Dalam diskusi keluarga, pendapatnya dianggap kurang penting. Saat mencoba berbicara, sering kali dipotong atau diabaikan. Kadang, si bungsu hanya bisa diam dan menerima keputusan yang dibuat tanpa mempertimbangkan perasaannya.

Anak bungsu sering dibentak, dimarahi, atau disalahpahami. Keluarganya ingin dimengerti, tapi si bungsu sendiri sering kali tidak dimengerti. Ada harapan besar yang dititipkan padanya, tetapi tidak semua harapan itu sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Kadang, tekanan itu membuat mentalnya terganggu. Merasa sendirian dalam keluarga yang besar. Merasa tidak cukup baik meskipun sudah berusaha. Merasa terjebak dalam ekspektasi yang terlalu tinggi.

Dan yang paling menyakitkan, anak bungsu sering dibanding-bandingkan dengan kakak-kakaknya. “Kenapa kamu nggak seperti kakakmu?” atau “Coba belajar dari kakakmu!”Kata-kata yang terdengar biasa, tetapi perlahan-lahan menekan perasaan dan membentuk ketidakpercayaan diri.

Tidak semua anak bungsu mengalami hal yang sama, tetapi bagi sebagian dari mereka, menjadi si bungsu bukanlah hal yang mudah. Ada cerita yang tak pernah terungkap, ada luka yang tak pernah terlihat.

Karena itu, sebelum berkata bahwa anak bungsu itu selalu enak, cobalah bertanya pada mereka: “Apa kabar?” “Bagaimana perasaanmu?” Kadang, mereka hanya butuh didengar.

Watansoppeng, 4 Februari 2025

*Penulis adalah Siswi SMPN 1 Watansoppeng

(Visited 125 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *