Oleh: Ryan Hidayat*

Sejak awal masuk SMP Haji Agus Salim, aku dan teman-teman hanya belajar melalui hp/belajar online karena pada saat itu(2020) virus covid-19 melanda negeri kita tercinta. Saat kelas VII, aku tidak pernah merasakan yang namanya belajar di bangku sekolah, bertemu teman-teman satu angkatan, memakai seragam sekolah, sehingga aku tidak begitu akrab dengan teman-teman seangkatan karena kami hanya bicara melalui hp dan jarang bertemu.

Aku tidak merasakan yang namanya sekolah. Tetapi seiring berjalannya waktu, tidak terasa kita telah duduk di bangku kelas VIII, dan pada saat itu kami sudah bisa ke sekolah dengan menggunakan masker dan saat itulah aku mulai masuk pramuka. Di pramuka, aku banyak mendapat pelajaran moral, menjadi pemimpin yang baik, dan bisa menolong sesama makhluk hidup. Di kelas ini juga aku diceritakan kisah dari seorang pemerhati pendidikan yang begitu dikagumi banyak orang tapi saya sendiri belum pernah mendengar ceritanya. Makanya, aku sangat antusias dan menyimak kisah yang diceritakan kepadaku yaitu kisah perjuangan dari Paulo Preire di dunia pendidikan. Satu kalimat yang saya ingat bahwa beliau adalah Edukator dari Brasil yang memiliki pendapat bahwa pendidikan semestinya menjadi solusi bagi kelaparan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Setelah naik kelas setingkat lagi, kehidupan terasa mulai membaik karena virus corona yang sudah bisa dibilang hilang dan pada saat itulah waktuku tidak begitu lama lagi di sekolah karena aku sudah menduduki kelas IX di sekolah tersebut. Aku serasa selesai begitu cepat karena hanya duduk di bangku sekolah selama dua tahun. Dengan nada bercanda, teman-temanku kadang bilang, nama kita semua ini akan menjadi sejarah karena akan tercatat sebagai anak yang cerdas karena hanya butuh dua tahun untuk bisa selesai di sekolah menengah pertama. Namun bagi saya, waktu bukan tolak ukur dari kecerdasan kita sebagai siswa, tapi apakah kita mampu menjadikan ilmu yang kita dapat sebagai alat pembebasan atau hanya alat penindasan sebagaimana yang dimaksud oleh Paulo Preire dari cerita yang kami pernah dengar secara seksama.

Waktu dua tahun duduk di bangku sekolah terasa begitu singkat. Namun banyak kenangan yang tidak bisa dilupakan. Kenangan di kelas yang begitu banyak canda tawa dan nasihat yang kadang aku pikir itu adalah amarah. Tapi, belakangan ini aku paham bahwa semua itu demi mimpi-mimpiku yang selama ini masih tertempel rapi di dinding kamarku. Kini, tinggal hitungan minggu lagi aku akan meninggalkan sekolahku. Buat semua teman-teman, aku minta maaf dari lisanku yang tak terjaga, dan teruntuk guruku tercinta, aku minta maaf untuk sikapku yang nakal serta ucapan terima kasih telah menanamkan ilmu kepada kami semua. Semoga kelak engkau bisa petik buahnya di surga. Aamiin.

*Penulis adalah siswa SMP Haji Agussalim, Katoi, Kolut.

(Visited 16 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *