Oleh: Amara Nasifa*

Teman-teman, berhentilah sejenak. Tutup telinga dari gemuruh kabar tak penting. Kali ini, biarkan hati dan nuranimu mendengarkan sebuah nama yang menuntut keadilan: Zara Qairina Mahathir. Seorang siswi berusia 13 tahun di sebuah sekolah asrama di Sabah, Malaysia. Kisahnya bukan fiksi, tapi tragedi nyata yang mengguncang Asia.

Di usianya yang seharusnya disibukkan oleh deretan tugas sekolah, tawa hangat di asrama, dan harapan-harapan yang ia gantungkan setinggi cakrawala. Namun, ternyata dinding asrama yang seharusnya menjadi benteng ilmu, justru berubah menjadi penjara yang dingin dan penuh ketakutan bagi dirinya yang rapuh. Asrama yang harusnya menjadi tempat Zara untuk menimba ilmu, justru menjadi kuburan bagi mimpi-mimpinya.

Seperti anak-anak lainnya, Zara adalah bibit yang siap mekar menjadi cahaya bagi keluarganya. Hingga, pada pertengahan tahun 2025, cahaya itu padam. Zara ditemukan tak sadarkan diri di dekat asramanya. Seketika, asrama yang tadinya sunyi berganti dengan hiruk-pikuk kepanikan. Suara sirine yang mengaung-ngaung segera mengantarkan Zara ke rumah sakit terdekat. Namun, sayangnya jiwanya sudah terlalu lelah menahan sakit. Zara meninggal dunia tak lama kemudian.

Awalnya, kasusnya dibungkus rapi dalam narasi kecelakaan biasa. Tapi, segera dibantah oleh ibu Zara ketika melihat ada memar di tubuh putrinya. Melihat kejanggalan itu, suara hatinya berteriak: “Ini bukan kecelakaan. Ini adalah pembungkaman atas kekerasan yang terjadi berulang kali”

Hal itu membuat publik menjadi marah karena penanganan yang terkesan menutupi fakta, dan disertai dengan munculnya pertanyaan: Berapa banyak kasus Zara lain yang ditutup hanya karena dianggap “kenakalan anak-anak”? Ini adalah masalah sosial yang jauh lebih besar daripada sekadar kenakalan remaja.

Di sinilah lahir sebuah keajaiban di era digital, yaitu #Justice4Zara yang menjadi trending topik di pertengahan tahun. Tagar ini adalah gabungan suara yang menolak untuk percaya. Ia adalah gema dari jutaan hati yang menuntut keadilan. Ia adalah desakan untuk memaksa polisi membongkar kembali kasus ini. Sebuah kasus bullying yang berakhir dengan hilangnya nyawa.

Melalui tagar ini, keadilan yang sudah terlelap dipaksa bangun. Penyelidikan diulang, dan jenazah harus diotopsi. Lalu bagaimana hasilnya? Zara diduga mengalami bullying berulang, bahkan ada dugaan pelecehan seksual yang menyertainya. Bayangkan, seorang anak 13 tahun yang seharusnya fokus belajar dan tumbuh, justru hidup dalam ketakutan di dalam benteng pendidikannya sendiri.

Berkat desakan publik, lima remaja yang diduga terlibat bullying Zara sedang dalam proses hukum, dan pemerintah Malaysia telah menjanjikan penegakan hukum yang lebih keras, termasuk undang-undang anti-bullying baru. Ini adalah kemenangan kecil dari suara kemanusiaan. Zara, dalam kepergiannya, justru menjadi pahlawan yang memaksa hukum bekerja. Keadilan itu baru bergerak, bukan karena nurani institusi, tetapi karena kekuatan jari-jari yang bersatu di layar.

Namun, kemenangan sejati bukanlah menghukum pelaku saja. Tetapi, kemenangan sejati adalah ketika tidak ada lagi “Zara” berikutnya.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan?

Jangan bungkam! Jika kamu melihat bullying, sekecil apa pun, beranilah angkat suara. Jadilah teman yang menyelamatkan, bukan penonton yang membiarkan. Jangan pernah meremehkan bullying sebagai “candaan”. Bekas luka emosional itu bisa bertahan seumur hidup loh!

Kisah Zara Qairina Mahathir ini, adalah pengingat bahwa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab harus dimulai dari lingkungan terdekat, dari sekolah, dan dari hati kita.

(Visited 65 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *